JAKARTA 29/3/2009 (KATAKAMI) Maafkan kami, jika topik mengenai musibah jebolnya “tanggul warisan penjajah LONDO” masih akan tetap menjadi fokus perhatian untuk diulas dan dibahas. Ini bukanlah kesengajaan untuk mendramatisir keadaan tetapi semata-mata disuarakan atas dasar kemanusiaan.
Memasuki hari ketiga pasca musibah naas itu, banyak cerita yang kita dengar dari lokasi bencana. Semua serba memilukan. Paling tidak, sebagian besar adalah informasi tentang ditemukannya mayat-mayat korban.
Malah penemuan itu, beberapa ditemukan di aliran kali atau sungai yang lain di wilayah berbeda dari Situ Gintung CIRENDEU.
Terimakasih kepada Presiden SBY yang secara tegas memerintahkan agar proses evakuasi dilanjutkan.
Hendaknya Pemerintah, khususnya Pemda Banten, bisa sangat arif dan bijaksana mengantisipasi semua kemungkinan terburuk ini.
Termasuk juga bila nanti akan membagikan santunan uang kepada seluruh KORBAN, janganlah sok tertib administrasi kepada korban Situ Gintung yang sangat malang ini.
Jangan menggantung harapan, rezeki dan nasib mereka.
Kasihani mereka secara tulus dan menyeluruh. Carikan solusi yang lebih memudahkan mereka.
Setingkat Presiden, Wakil Presiden atau Gubernur sekalipun, bisa saja tinggal bicara agar semua korban ini dibantu. Tapi dibawah ? Aparat atau Petugas yang akan melaksanakannya di bawah, belum tentu sebaik atau sebijaksana pimpinan-pimpinan diatas.
Tolong, jangan nanti justru petugas-petugas di lapangan itu yang menjadi jelmaan baru kompeni alias penjajah. Sebab, kompeni atau penjajah itu tak mengenal rasa kasihan sedikitpun.
Dan harusnya, perintah Presiden SBY agar proses evakuasi tetap dilanjutkan haruslah ditindak-lanjuti oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan jajarannya agar memerintahkan semua Walikotamadya dan pejabat dibawahnya untuk memerintahkan lagi ke jajaran di bawah mereka untuk siap siaga, jika sewaktu-waktu di aliran kali atau sungai atau danau di wilayah di semua kawasan Jakarta agar “mengamankan” mayat korban Situ Gintung yang terbawa ke kawasan mereka.
Walau misalnya, mayat itu sudah berbau atau busuk sekalipun tetapi anggota keluarga mereka yang masih hidup ingin agar korban tewas ditemukan jasadnya. Dan biasakanlah untuk memperlaukan jasad-jasad itu secara baik dan manusiawi.
Artinya, dimakamkan secara sederhana tetapi tetap dalam norma yang sepantasnya. Ini bukan sedang menguburkan bangkai binatang. Jika sedikit saja terlihat ada petugas yang menguburkan korban tewas Situ Gintung dengan cara yang agak tidak pantas, keluarga korban sangat tersinggung dan bisa meledak emosinya. Pahamilah suasana duka di hati para keluarga korban.
Terimakasih kepada Palang Merah Indonesia (PMI) karena mereka secara cepat memasok air bersih untuk korban.
Memang, air bersih itu sangat dibutuhkan dalam situasi yang seperti ini. Jangankan untuk diminium (walaupun misalnya dimasak terlebih dahulu), jika dipakai untuk cuci tangan atau cuci pakaipun maka aliran air dari Situ Gintung itu sudah tidak “higenis”.
Ini juga harus menjadi perhatian untuk semua warga di kawasan Jabotabek dan Banten pada umumnya, jika memang di kawasan tempat tinggal mereka ada kali, sungai atau danau yang titik pertemuannya bertemu dengan Situ Gintung maka sebaiknya dihindari dulu penggunaan air kali, sungai atau danau itu untuk minum, mencuci atau mandi sekalipun.
Dalam proses evakuasi korban Situ Gintung, ssekali lagi terimakasih untuk TNI / POLRI yang kelihatan tetap berada di garis terdepan bersama TIM SAR untuk terus melakukan evakuasi.
Dan secara khusus untuk jajaran KEPOLISIAN, mengatur lalu lintas dan mengamankan kawasan di sekitar lokasi musibah Situ Gintung.
Paling tidak sampai 2 minggu akan tetap tetap seperti itu kesibukan yang sangat dinamis disana. Dan bicara soal musibah Situ Gintung ini, kami ingin menyampaikan sebuah opini yang positif untuk dipertimbangkan oleh semua pihak.
Saat melakukan kampanye terbuka hari Sabtu (28/3/2009) kemarin, Partai Golkar mengumumkan bahwa dari hasil penghematan kegiatan kampanye terbuka mereka maka disumbangkan biaya Rp. 1 Miliar kepada korban Situ Gintung melalui Pemda Banten.
Sebelum Partai Golkar mengumumkan bantuan Rp. 1 Miliar itu, Gubernur Banten Hajjah Ratu Atut Choisyah sudah mengumumkan bahwa mereka akan memberikan santunan Rp. 5 juta per keluarga.
Semua kebaikan itu harus dihargai dengan setulus hati.
Biarpun disumbang dengan satu kontainer barang-barang kebutuhan hidup, korban musibah Situ Gintung itu memerlukan uang tunai. Kita jangan munafik. Coba dibayangkan, bagaimana penderitaan dan kerugian yang harus mereka tanggung.
Jika realisasi dari santunan Pemda Banten akan dilaksanakan sampai ada proses verifikasi, maka yang jadi pertanyaan adalah siapa yang ditugaskan untuk melakukan verifikasi ?
RT / RW atau bahkan Lurah disana, barangkali termasuk korban juga. Situasi sedang kacau dan sangat berduka. Lalu, belajar dari pengalaman saat melakukan verifikasi pada korban gempa bumi di DI Yogyakarta beberapa tahun yang lalu, ingatlah bahwa proses verifikasi itu justru menjadi batu sandungan.
Sebab, proses verifikasi itu sangat mengada-ada dan terlalu memberatkan korban.
Bayangkan, korban yang sedang tertimpa kemalangan diwajibkan untuk membawa fotocopy KTP, Kartu Keluarga, surat pengantar RT/ RW, dan sebagainya. Dimana dan kapan para korban ini sempat mengurus semua itu ?
Lalu, kalau terjangan air bah Situ Gintung sudah melahap dan membawa lari rumah, harta benda dan semua surat-surat identitas mereka, bagaimana caranya agar para korban itu bisa tetap mendapatkan santunan ?
Untuk mengurus pembuatan KTP baru saja akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan bisa jadi perlu “uang rokok”.
Lalu, karena sudah sangat terdesak membutuhkan uang dan wajib mengikuti proses verifikasi, mereka harus pergi mengurus semua urusan administrasi itu ke RT / RW dan Kelurahan.
Coba kita pikirkan, jangankan pergi ke RT/ RW atau Kelurahan, saat ini untuk pergi sebentar mencari kamar kecil (toilet) saja, mereka pasti sudah tak punya kemauan atau semangat. Yang ada dalam pikiran mereka adalah menunggu hasil pencarian terhadap proses evakuasi para korban.
Masih banyak yang anggota keluarganya belum ditemukan. Dan keluarga yang ditinggalkan, tetap menunggu sampai kapanpun.
Hendaknya Pemerintah, khususnya Pemda Banten, bisa sangat arif dan bijaksana mengantisipasi semua kemungkinan terburuk ini. Janganlah sok tertib administrasi kepada korban Situ Gintung yang sangat malang ini.
Jangan menggantung harapan, rezeki dan nasib mereka.
Kasihani mereka secara tulus dan menyeluruh. Carikan solusi yang lebih memudahkan mereka.
Setingkat Presiden, Wakil Presiden atau Gubernur sekalipun, bisa saja tinggal bicara agar semua korban ini dibantu. Tapi dibawah ? Aparat atau Petugas yang akan melaksanakannya di bawah, belum tentu sebaik atau sebijaksana pimpinan-pimpinan diatas.
Tolong, jangan nanti justru petugas-petugas di lapangan itu yang menjadi jelmaan baru kompeni alias penjajah. Sebab, kompeni atau penjajah itu tak mengenal rasa kasihan sedikitpun.
Lalu, mengenai sumbangan dari Partai Golkar sebesar Rp. 1 Miliar lewat Pemda Banten, jujur saja sumbangan ini agak kurang tepat cara penyampaiannya.
Ya okelah, bahwa Partai Golkar peduli sehingga harus menghemat biaya kampanye mereka untuk bisa menyumbang Rp. 1 Miliar. Mengumumkannya di tengah area kampanye, sebenarnya bukan sebuah tindakan yang tepat.
Lalu kalau disebut bahwa itu sumbangan untuk korban musibah Situ Gintung, apakah yang dimaksud itu adalah para korban akan mendapatkan santunan uang tunai atau justru uang itu akan digunakan untuk melakukan tahap rekonstruksi tanggul dan bangunan rumah ?
Tidak jelas untuk apa ?
(Para kaum lansia korban musibah SITU GINTUNG)
Sebab, dengan mengumumkan bahwa itu adalah sumbangan untuk korban Situ Gintung maka yang ada di kepala para korban adalah rezeki untuk mereka akan bertambah dari yang sebelumnya sudah dijanjikan Pemda Banten.
Jangankan sumbangan dari Partai Golkar, yang dijanjikan Pemda Banten pun belum tentu bisa mereka terima secepatnya. Jika dalih verifikasi yang dikedepankan dan diutamakan, maka harapan para korban untuk bisa segera mendapat uang santunan itu bagaikan melayang di awang-awang.
Semua korban Situ Gintung itu sedang terpukul dan hancur luar biasa perasaan serta mental mereka. Pasti, secara psikologis mereka benar-benar depresi.
Belum lagi, penyakit-penyakti “langganan” yang akan berdatangan bila terjadi musibah semacam itu. Mayat-mayat yang membusuk akan mengundang sejuta kuman penyakit dimana-mana. Sakit kulit, ISPA, diare dan sebagainya, pasti akan menimpa pada korban dan petugas yang terjun langsung di lapangan.
Jadi bayangkan, kalau korban Situ Gintung itu disuruh mengurus kelengkapan admistrasi mereka selengkap-lengkapnya, kalau memang mau mendapatkan santunan. Kalau tidak mau mengurus, tanggung sendiri resikonya.
Alangkahnya kejamnya kita !
Jangankan KTP atau Kartu Keluarga, barangkali yang tersisa pada diri mereka saat ini hanyalah baju yang melekat di badan sejak musibah itu terjadi.
Disinilah kadang-kadang para donatur ini tidak berpikir panjang dan sangat blunder kebaikannya.
Bagaimana tragisnya nasib para korban gempa bumi di DI Yogyakarta beberapa tahun lalu, untuk bisa mendapatkan janji bantuan itu saja rasanya seperti menunggu datangnya sebuah keajaiban !
Lalu, korban lumpur Sidoarjo (Jawa Timur), sampai saat ini untuk bisa mendapatkan sisa bantuan saja harus mempunyai cadangan kesabaran hati yang sangat luar biasa besarnya.
Tapi coba kalau rakyat di negara lain yang kesusahan atau mendapat bencana, begitu sigapnya PEMERINTAH INDONESIA mengirimkan bantuan yang sangat besar, bermodal dan terstruktur rapi. Kepedulian kita kepada rakyat orang, seakan lebih tinggi dibanding kepada kepedulian untuk rakyat sendiri.
Apakah untuk mendapatkan bantuan dari DELEGASI KEMANUSIAAN INDONESIA, rakyat di negara asing itu harus menunjukkan dulu KTP, Kartu Keluarga, Surat Pengantar RT/ RW/ Kelurahan / Kecamatan agar bisa diobati Tim Medis atau mendapatkan bantuan lainnya dari rombongan kemanusiaan Indonesia ?
Barangkali cuma di Indonesia ini saja, korban yang sangat menderita akibat musibah apapun atau bencana alam, justru diwajibkan menunjukkan verifikasi identitas diri yang lengkap dan bertele-tele.
Sehingga, jika memang harus ada kelengkapan administrasi untuk korban Situ Gintung itu, maka sebaiknya PEMERINTAH DAERAH (Pemda) yang berinisiatif mencari siapa RT / RW / Lurah / Camat mereka.
Jika sudah diketahui nama-nama dari pejabat lokal di seputaran Situ Gintung CIRENDEU ini, maka Pemda Banten harus memerintahkan mereka untuk datang ke lokasi.
Datangi warga yang menjadi korban, lakukan proses pembuatan kelengkapan administrasi di titik terdekat dari lokasi musibah. Jangan dibiarkan korban itu yang bersusah-payah mencari dimana RT/ RW/ Lurah / Camat untuk sekedar membuat KTP, Kartu keluarga dan surat pengantar lainnya.
Dan siapa saja yang merasa dirinya dokter, tim medis atau pejabat yang memungkinkan diri mereka untuk mendatangkan bantuan obat dan tim kesehatan, kirimkankan dan perintahkanlah untuk membuka posko 24 jam dan selama 14 hari disana.
Akan banyak yang jatuh sakit dalam situasi yang serba tidak higenis di lokasi musibah. Anak-anak, perempuan hamil dan lansia, harus diutamakan dalam semua proses pengobatan gratis itu.
Hendaklah tim medis itu bukan seperti TURIS, yang datang hanya sekejap mata dan dalam hitungan jam sudah pergi.
Ya oke, ada yang mengirimkan kantong-kantong mayat. Tapi banyak diantara korban yang belum jadi mayat. Mereka selamat tetapi perlu penanganan medis. Apalagi pasca musibah seperti ini.
Termasuk para petugas TIM SAR, TNI dan POLRI, bisa jadi mereka juga sakit karena situasi disana sangat tidak steril / higenis.
Jangan cuma rakyat orang saja yang dikasihani dan ditolong. Lakukan dong, koordinasi antar INSTANSI misalnya, yaitu dengan DEPKES dan INSTANSI terkait untuk bisa secepatnya mendorong ke lokasi berbagai bantuan yang sifatnya sangat menolong korban.
Tak harus uang yang disumbangkan, tetapi ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meringankan beban penderitaan sesama manusia.
Para korban dan keluarganya yang mengalami musibah itu secara nyata, pasti tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa !
Pasti mereka tidak mengerti, harus bicara kepada Pejabat mana atau Petugas mana, bahwa satu rupiahpun sudah tidak ada uang di kantong mereka. Padahal harta benda semuanya amblas dibawa air bah itu. Ditambah lagi misalnya, kondisi fisik mereka sakit-sakitan.
Berbuatlah secara nyata dan cepat untuk semua misi kemanusiaan.
Jangan lagi ada yang gembar-gembor memberikan sumbangan sekian juta, sekian miliar atau berapapun juga. Apalagi sampai diumumkan di media massa secara luar gemanya.
Kasihani para korban, gembar-gembor uang santunan dan sumbangan itu seakan melambungkan harapan atau angan-angan mereka. Tetapi setelah melayang setinggi langit, mereka justru akan terhempas dan terlempar jauh sampai ke titik terendah.
Jangan sakiti perasaan mereka dengan cara seperti itu !
(Ilustrasi gambar BADAI TORNADO, hujan es batu disertai angin badai dan sambaran kilat petir tanpa henti selama 3 jam di CIRENDEU membuat tanggul buatan KOLONIAL BELANDA lebih dari 400 tahun lalu menjadi jebol)
Bantulah secara nyata. Kurangi beban penderitaan dan kesedihan mereka. Jangan justru ditambah dan dipersulit.
Sehingga yang dilakukan oleh PEMERINTAH benar-benar terfokus pada kegiatan yang memang sangat berguna. Agar jangan ada lagi yang kasak-kusuk seperti kurang kerjaan mencari-cari alasan bahwa tanggul itu pantas saja JEBOL karena buatan BELANDA sekitar 400 tahun yang silam.
Kalau sudah perkara kasak kusuk dari informasi yang bisa jadi jurus pembenaran diri, memang akan selalu ada yang sangat ahli dan pakar luar biasa mengenai hal itu. Termasuk misalnya, ahli dalam mencari-cari kesalahan INSTANSI lain, seolah-olah INSTANSI “mereka” sendiri yang paling hebat dan berguna. Padahal … ?
Jika memang ada, INSTANSI yang modelnya seperti ini di era seperti ini maka sebaiknya dibubarkan saja dari struktur pemerintahan daripada mendapat beban negara dan bikin susah INSTANSI lain.
Apalagi kalau sampai, bikin rakyat yang sudah susah menjadi lebih susah hidupnya.
(MS)